TANGERANGBERKABAR — Gabungan aktivis pergerakan berencana menyampaikan surat kepada Menteri Lingkungan Hidup(KLH) Republik Indonesia(RI) untuk meminta penjelasan resmi terkait kelanjutan kasus PT WPLI pada Tahun 2015 silam.
Diketahui kala itu, pihak KLHK menyebut bahwa PT WPLI kedapatan membuang limbah ke saluran air yang mengaliri sawah milik warga serta menanam limbah B3 di dalam tanah, sebagaimana saat itu disampaikan oleh perwakilan KLHK, Yunus.
Kemudian berdasarkan viralnya pemberitaan nasional yang masih dapat ditelusuri melalui jejak digital, Kementerian LHK pada tahun 2015 memberikan sanksi berupa pembekuan izin terhadap PT WPLI atas dugaan pelanggaran berat dalam pengelolaan limbah B3.
Koordinator dalam gerakan gabungan ini, Alamsyah mengatakan hingga kini, setelah hampir 10 Tahun berlalu, tidak diketahui secara jelas seperti apa tindak lanjut dan penyelesaian kasus tersebut, baik dari sisi penegakan hukum maupun pemulihan lingkungan. Hal inilah yang mendorong para aktivis untuk mengambil langkah konkret.
“Inisiatif ini juga lahir dari keprihatinan atas dugaan pemerasan terhadap PT WPLI oleh oknum LSM yang saat ini telah viral di media sosial,” katanya, Jumat (13/6/2025).
Lanjutnya, dalam kasus yang tengah berkembang, disebut-sebut ada aliran uang hingga Rp400 juta yang diberikan oleh pihak perusahaan kepada oknum LSM. Karena hal itu, gabungan aktivis melihat ada benang merah antara kasus lama tahun 2015 dan peristiwa hari ini.
Alamsyah pun menduga, akar permasalahan yang belum tuntas saat itu justru menjadi celah bagi praktik-praktik tekanan dan pemerasan di kemudian hari. “Maka kami sepakat, ini bukan hanya tentang uang Rp400 juta saja. Tapi harus diklarifikasi: uang itu uang apa? Kenapa sampai merasa tertekan? Kenapa perusahaan bisa sampai sejauh itu?,” tegas Alam.
Lebih jauh, Alamsyah menyebut, pihaknya juga menyoroti adanya pertemuan-pertemuan yang melibatkan perusahaan, oknum LSM, dan bahkan disebut-sebut melibatkan unsur Direktorat Gakkum KLHK. Menurut Alam, jika benar ada pertemuan semacam itu, maka harus dibuka ke publik secara transparan,apakah pertemuan mediasi?
“Kita tidak ingin publik hanya disuguhi potongan informasi. Harus ada klarifikasi dari semua pihak. Apa yang terjadi setelah 2015? Apakah sanksi itu dicabut?,” katanya.
“Apakah pelanggaran lingkungan tersebut sudah diperbaiki? Dan jika benar perusahaan merasa tertekan, kita juga ingin tahu: siapa yang menekan, dengan alasan apa, dan apakah ada pembiaran?,” tandasnya.
(Deri)
Tinggalkan Balasan