TANGERANGBERKABAR.ID (Tigaraksa) —– Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Kabupaten Tangerang menyuarakan kritik keras terhadap maraknya praktik *money politik* yang terus menjadi ancaman bagi kualitas demokrasi di Indonesia.
Ketua PMII Kabupaten Tangerang, Saeful Abdi, menyoroti bahwa praktik *money politik* tidak hanya mencoreng proses demokrasi, tetapi juga memengaruhi kebijakan publik yang dihasilkan. Dalam konteks Pilkada Kabupaten Tangerang, PMII menegaskan bahwa pemilihan pemimpin tidak boleh didasarkan pada transaksi uang, melainkan pada kapasitas, integritas, dan visi pemimpin untuk membangun daerah.
“Ketika politik menjadi ajang transaksi, masyarakat akan membayar mahal dengan kebijakan yang tidak berpihak pada mereka. Pemimpin yang terpilih melalui *money politik* lebih rentan mengutamakan kepentingan pribadi dan kelompoknya daripada rakyat. Kita harus berani menolak segala bentuk iming-iming materi dan memilih dengan cerdas, demi masa depan daerah yang lebih baik,” tegas Saeful Abdi.
Sekretaris PMII, Aziz Patiwara, menekankan bahwa *money politik* bukan hanya pelanggaran moral, tetapi juga ancaman struktural yang melemahkan demokrasi. Ia mengajak seluruh kader PMII untuk mengambil peran aktif dalam mengawasi jalannya Pilkada dan mengedukasi masyarakat agar tidak terjebak dalam pola pikir pragmatis yang berbahaya.
“Money politik adalah cikal bakal korupsi yang merajalela. Ini adalah akar dari banyak masalah di pemerintahan, termasuk buruknya pelayanan publik, kesenjangan sosial, dan kemunduran ekonomi. Tugas kita sebagai generasi muda adalah melawan praktik ini dengan cara mengawasi, melaporkan, dan memberikan pemahaman kepada masyarakat bahwa harga suara mereka tidak bisa dibeli,” ujar Aziz dengan nada tegas.
Lebih kritis lagi, Bendahara PMII Kabupaten Tangerang, Abibanyu, menyoroti lemahnya penegakan hukum terhadap pelaku *money politik*. Ia menegaskan bahwa praktik ini tidak hanya dilakukan oleh oknum peserta Pilkada, tetapi juga sering kali melibatkan pihak-pihak yang seharusnya menjaga netralitas proses pemilihan.
“Money politik bukan sekadar pelanggaran kecil, ini adalah kejahatan yang merusak fondasi demokrasi. Pasal 280 dan Pasal 523 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu sudah dengan jelas melarang praktik ini dan menetapkan sanksi pidana hingga 4 tahun penjara. Namun, mengapa pelaku-pelakunya kerap lolos dari jerat hukum? Di sini, integritas lembaga pengawas dan penegak hukum sangat dipertaruhkan,” tegas Abibanyu.
PMII Kabupaten Tangerang menyerukan masyarakat untuk tidak lagi menjadi bagian dari sistem transaksional yang merugikan. Sebaliknya, masyarakat diminta memilih pemimpin yang benar-benar peduli pada kepentingan rakyat.
“Pilihan kita adalah suara kita untuk masa depan. Jika kita rela menjual suara hari ini, kita sedang menjual hak kita atas pelayanan publik, keadilan sosial, dan pembangunan yang adil selama lima tahun ke depan. Ini bukan hanya soal siapa yang kita pilih, tetapi juga soal bagaimana kita menghormati demokrasi sebagai sarana untuk menciptakan perubahan,” tutup Saeful.
Pernyataan tegas ini adalah pengingat bahwa *money politik* tidak boleh dianggap enteng. Sebagai ancaman terbesar bagi demokrasi, PMII Kabupaten Tangerang mendorong semua pihak, terutama generasi muda, untuk menjadi garda terdepan dalam melawan praktik-praktik yang mencederai masa depan bangsa.
Tinggalkan Balasan